FUTUR(E)
Ada harap kepada
manusia?
Ada kecewa yang
membersamainya?
Apakah hakikat menikah
hanya sepasang kekasih yang bahagia?
Aku
belum terlalu paham, tapi aku coba belajar menelaah retorika kehidupan. Mereka yang telah lama bertahan dalam
maghligai pernikahan.
Bagiku,
pasangan memang hakikatnya sebagai syarat sah pernikahan. Memilih yang berparas
menawan dan jutawan juga bukanlah kesalahan, hal itu pun diperbolehkan. Namun, kiranya
ada yg perlu diperhatikan, konsep pernikahan selamanya bukan kebahagiaan, akan
tetapi sepaket dengan kesedihan.
Ada
rona kesedihan yang membersamai Ayah pada putra maupun putrinya yang menikah. Ada
perubahan tanggung jawab yang perlu Ayah percayakan keorang lain yang mungkin
sosok asing yang belum pernah beliau mengenalnya. Ada rasa khawatir untuk
melepas anak gadis dan bujangnya untuk berjuang. Keputusan beliau adalah
tanggungjawab sebagai kepala rumah tangga. Pasti ada rasa dimana beliau tidak
rela, yang tidak bisa diungkapkan demi kebahagiaan putra-putrinya.
Anak
yang baik ialah anak yang bisa memilih pasangan hidup yang sesuai dengan
dirinya, keluarga dan lingkungannya agar kebahagiaan sebuah pernikahan bisa
dirasakan semua, bukan menjauhkan diri dari mereka.
“Menikah bukan sekedar
bicara menikahkan diri dengan pasangan yang dipilih, namun juga tentang
bagaimana menikahkan kekasihnya dengan kelurga dan lingkungannya.”(Zulfi alia,
mengeja kehidupan)
11/01/2017
Romansa Sudut Jogja
0 komentar