FUTUR(E)

by - 08.58


Ada yang sering lupa ketika mempersiapkan masa depan. Seringkali disibukan dengan sosok idaman. Berparas menawan dan jutawan. Ketika yang didamba sudah memiliki pasangan, kekecewaan pun tak dapat ditahan. Kemudian lupa untuk memperbaiki diri secara bertahap agar dirasa siap.
Ada harap kepada manusia?
Ada kecewa yang membersamainya?
Apakah hakikat menikah hanya sepasang kekasih yang bahagia?
Aku belum terlalu paham, tapi aku coba belajar menelaah retorika kehidupan.  Mereka yang telah lama bertahan dalam maghligai pernikahan.
Bagiku, pasangan memang hakikatnya sebagai syarat sah pernikahan. Memilih yang berparas menawan dan jutawan juga bukanlah  kesalahan, hal itu pun diperbolehkan. Namun, kiranya ada yg perlu diperhatikan, konsep pernikahan selamanya bukan kebahagiaan, akan tetapi sepaket dengan kesedihan.
Ada rona kesedihan yang membersamai Ayah pada putra maupun putrinya yang menikah. Ada perubahan tanggung jawab yang perlu Ayah percayakan keorang lain yang mungkin sosok asing yang belum pernah beliau mengenalnya. Ada rasa khawatir untuk melepas anak gadis dan bujangnya untuk berjuang. Keputusan beliau adalah tanggungjawab sebagai kepala rumah tangga. Pasti ada rasa dimana beliau tidak rela, yang tidak bisa diungkapkan demi kebahagiaan putra-putrinya.
Anak yang baik ialah anak yang bisa memilih pasangan hidup yang sesuai dengan dirinya, keluarga dan lingkungannya agar kebahagiaan sebuah pernikahan bisa dirasakan semua, bukan menjauhkan diri dari mereka.
“Menikah bukan sekedar bicara menikahkan diri dengan pasangan yang dipilih, namun juga tentang bagaimana menikahkan kekasihnya dengan kelurga dan lingkungannya.”(Zulfi alia, mengeja kehidupan)

11/01/2017
Romansa Sudut Jogja


You May Also Like

0 komentar